Selasa, 21 April 2015

Filled Under:

SHALAT JUM’AT KARYAWAN


a.      Deskripsi Masalah
Sebagaimana dalam literatur kitab-kitab Syafi’iyah dan lainya bahwa faktor-faktor tertentu dapat menjadi alasan untuk melaksanakan shalat jum’at lebih dari satu tempat dalam satu kawasan diantaranya penuhnya masjid dengan jamaah (لضيق المكان)   sulitnya dipertemukan antara dua belah pihak yang berseteru (لعسر الاجتماع)   dan karena jarak yang jauh (لبعد المكان).
Pada era industrialisasi dan urbanisasi pekerja dari desa ke kota saat ini seolah menuntut ‘alasan baru’ dalam melaksanakn shalat ta’addudul jum’at kendatipun jarak antar satu kantor instansi pabrik terminal dan Rumah sakit dengan tempat lain yang tidak terlalu jauh. Namun karena ada aturan kerja yang mengikat ketertiban pegawai kantor yang eksklusif (tertutup) dan sebagainya memaksa masing-masing tempat tersebut untuk mengadakan salat jum’at di tempatnya sendiri-sendiri. Banyak juga dari para pekerja tersebut yang berstatus sebagai pekerja kontrak yang berasal dari luar daerah baik yang tinggal di asrama tempat kerjanya atau menyewa tempat tinggal daerah sekitar tempat kerjanya.
b.      Pertanyaan:
1.      Adakah kriteria lain yang memperbolehkan ta’addudul jum’at selain udzur penuhnya masjid dengan jemaah sulitnya dipertemukan antara dua belah pihak yang berseteru dan karena jarak yang jauh. Dan jika ada apa batasan kriteria ta’addudul jum’at itu?
2.      Apakah faktor efisiensi waktu keamanan keselamatan ketika menyebrang jalan raya minimya jam istirahat kerja larangan jum’atan di luar dari pihak perusahaan dan lain sebagainya dapat digolongkan kriteria yang memperbolehkan ta’addudul jum’at?
3.      Jika jumlah mustauthin (penduduk tetap) dalam mendirikan salat jum’at tidak mencapat 40 orang bahkan tidak ada sama sekali maka bagaimana pendapat fikih menyikapi fenomena ini?

c.      Jawaban:
1.      Adayaitu setiap hajat (keperluan) yang sampai pada taraf masyaqqah secara adat tidak tertahankan.
2.      Idem
3.      Boleh melakukan shalat jum’at namun setelah shalat jum’at dianjurkan melakukan shalat dzuhur sebagai langkah ikhthiyath. Sedangkan dalam masalah tidak ada mustauthin (penduduk domisili tetap) sama sekali menurut pendapat al-ashah hukumnya tidak boleh namun menurut muqabilul ashah hukumnya boleh bagi muqimin dan pendapat ini dikuatkan oleh Ibu Abi Hurairah dan Imam Subki.
Catatan: Jumlah minimal anggota jamaah shalat jum’at menurut pendapat mutamad dalam madzhab syafi’i adalah 40 orang tatapi ada pendapat lain dalam madzhab Baqor yang menyatakan cukup 12 orang atau 4 orang.
d.      Rujukan:
(قَوْلُهُ اِلَّا لِعُسْرِ الْإِجْتِمَاعِ ) اَيْ يَقِيْنًا وَظَاهِرُهُ اَنَّ الْاَوْفَقَ لِضَبْطِهِمْ عُسْرَ الْإِجْتِمَاعِ بِاَنْ تَكُوْنَ فِيْهِ مَشَقَّةٌ لَا تُحْتَمَلُ عَادَةً (الترمسي،  جـ 3/ صـ 212-213)
وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ : ضَيْقُ مَحَلِّ الصَّلاَةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ الْمُجْتَمَعِينَ لَهَا غَالِباً ، وَالْقِتَالُ بَيْنَ الفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ ، وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاُء ، أَوْ بِمَحٍّل لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا ، إِذْ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلَا بَعْدَ الْفَجْرِ اهـ. وَخَالَفَهُ ي فَقَالَ : يَجُوزُ بَلْ يَجِبُ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ حِيْنَئِذٍ لِلْخَوْفِ الْمَذْكُوْرِ ، لِأَنَّ لَفْظَ التَّقَاتُلِِ نَصٌّ فِيْهِ بِخُصُوصِهِ ، وَلِأَنَّ الخَْوْفَ دَاخِلٌ تَحْتَ قَوْلِهِمْ : إِلَّا لِعُسْرِ الْاِجْتِمَاعِ ، فَالْعُسْرُ عَامٌّ لِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَنِ الْمَحَلِّ أَوْ خَارِجِهِ ؟ - اِلَى اَنْ قَالَ - فَالضَّيْقُ لِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَنِ الْمَحَلِّ وَالْبُعْدِ ، وَلِكُلِّ عُسْرٍ نَشَأَ عَنِ الطَّرِيْقِ وَالتَّقَاتُلِ وَلِغَيْرِهِمَا ، كَالْخَوْفِ عَلىَ النَّفْسِ وَالْمَالِ وَالْحَرِّ الشَّدِيْدِ وَالْعَدَاوَةِ وَنَحْوِهَا مِنْ كُلِّ مَا فِيهِ مَشَقَّةٌ.( بغية المسترشدين، صـ 164)
قَالَ الْإِمَامُ السُبْكِيُّ لَمْ يَقُمْ عِنْدِيْ دَلِيْلٌ عَلىَ عَدَمِ إنْعِقَادِ الْجُمْعَةِ بِالُمقِيْمِ غَيْرِ الْمُسْتَوْطِنِ. (إثمد العينين هامش بغية، صـ 36)
وَهَلْ تَنْعَقِدُ بِمُقِيْمِيْنَ غَيْرِ مُسْتَوْطِنِيْنَ فِيهِ وَجْهَانِ قَالَ أَبُو عَلِي بِن أَبِي هُرَيْرَةِ تَنْعَقِدُ بِهِمْ لِاَنَّهُ تَلْزَمُهُمْ الْجُمْعَةُ فَانْعَقَدَتْ بِهِمْ كَالمُْسْتَوْطِنِيْنَ. (المهذب، جـ 1/ صـ 110)

وَلَا تَنْعَقِدُ الْجُمْعَةُ بِأَقَلَّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ خِلَاًفا لِأَبِي حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالضى فَتَنْعَقِدُ عِنْدَهُ بِأَرْبَعَةٍ وَلَوْ عَبِيْدًا أَوْ مُسَافِرِيْنَ وَلَا يُشْتَرَطُ عِنْدَنَا إِذْنُ السُّلْطَانِ لِإِقَامَتِهَا وَلَا كَوْنُ مَحَلِّهَا مِصْرًا خِلاَفًا لَهُ فِيْهِمَا. (فتح المعين،  جـ 2/ صـ 58)
Comments

0 komentar:

Posting Komentar