Selasa, 21 April 2015

Filled Under:

MALANGNYA NASIB ISTRI, TERBUNUH OLEH SUAMI.



a.    Deskripsi Masalah
Percekcokan tentang sebidang tanah yang di dapat dari hasil kerja berdua pasangan suami istri beakibat hilangnya nyawa istri. Tanah tersebut ingin dijual oleh suami sebagai biaya pembebasan anaknya yang sedang dipenjara. Namun sang istri melarangnya, karena tanah itu adalah satu-satunya tanah keluarga mereka. Tepatnya hari jum’at tanggal 06-11-2006 M, suami merasa jengkel pada istrinya, akhirnya dengan gelap mata iapun membunuh istrinya. Tidak lama kemudian Polisi datang ke TKP serta mengamankan tersangka. Anehnya Polisi mencegah masyarakat untuk memandikan mayat tersebut karena ingin di identifikasi. Ironinya lagi, sehabis sholat jum’at masyarakat langsung mensholati mayat sang istri, padahal masih belum dimandikan.
b.   Pertanyaan:
1.    Apakah dapat dibenarkan tindakan masyarakat di atas, mensholati mayat yang belum di mandikan?
2.    Kalau tidak di benarkan, bagaimana solusinya mengingat hal itu telah terjadi?
c.    Jawaban:
1.    Tidak bisa dibenarkan, karena sholat janazah harus dikerjakan setelah mayat dimandikan.
2.    Jika belum dikubur wajib dimandikan dan disholati kembali, karena sholat yang pertama tidak sah. Untuk kasus mayat yang sudah dikubur, menurut mayoritas Syafi’iyah harus digali untuk dimandikan, kemudian disholati lagi. Hal ini, jika mayat belum busuk. Menurut Hanafiyah  dan sebagian Ulama’ Syafi’iyah tidak wajib menggali kubur untuk dimandikan tapi langsung sholat di atas kuburannya.
d.   Rujukan:
( وَشُرِطَ ) لِصِحَّتِهَا ( شُرُوطُ غَيْرِهَا ) مِنْ الصَّلَوَاتِ كَطُهْرٍ وَسِتْرٍ وَغَيْرِهِمَا مِمَّا يَتَأَتَّى مَجِيئُهُ هُنَا ( وَتَقَدَّمِ طُهْرِهِ ) بِمَاءٍ أَوْ تُرَابٍ عَلَيْهَا كَسَائِرِ الصَّلَوَاتِ وَلِأَنَّهُ الْمَنْقُولُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( فَلَوْ تَعَذَّرَ ) كَأَنْ وَقَعَ بِحُفْرَةٍ وَتَعَذَّرَ إخْرَاجُهُ وَطُهْرُهُ ( لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ ) لِفَقْدِ الشَّرْطِ وَتَعْبِيرِي بِالطُّهْرِ هُنَا وَفِيمَا يَأْتِي أَعَمُّ مِنْ تَعْبِيرِهِ بِالْغُسْلِ وَإِنْ وَافَقْته فِي بَعْضِ . (حاشية الجمل، جــ 7/صــ 87)
فَرْعٌ: لاَ يَجُوْزُ نَبْشُ الْقَبْرِ إلاَّ فِيْ مَوَاضِعَ --- إلى أن قال --- وَمِنْهَا أنْ يُدْفَنَ مَنْ يَجِبُ غَسْلُهُ بِلاَ غَسْلٍ. فَالْمَذْهَبُ أنَّهُ يَجِبُ النَّبْشُ لِيُغْسَلَ وَحُكِيَ قَوْلُ أنَّهُ لاَ يَجِبُ بَلْ يُكْرَهُ لِمَا فِيْهِ مِنَ الْهَتْكِ فَعَلَى الْمَذْهَبِ وَجْهَانِ الصَّحِيْحُ الْمَقْطُوْعُ بِهِ فِي النِّهَايَةِ وَ التَّهْذِيْبِ يُنْبَشُ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ الْمَيِّتُ وَالثَّانِيْ يُنْبَشُ مَا دَامَ فِيْهِ جُزْءٌ مِنْ عَظْمٍ وَغَيْرِهِ. (روضة الطالبين وعمدة المفتين، جــ 1/صــ 193)

وَفِيْ فُرُوْقِ الشَّيْخِ أبِيْ مُحَمَّدٍ قَالَ الشَّافِعِيُّ: مَنْ دُفِنَ قَبْلَ الْغَسْلِ وَالصَّلاَةِ، فَإنْ كَانَ قَبْلَ أنْ يُهَالَ عَلَيْهِ التُّرَابُ أُخْرِجَ وَغُسِلَ إلاَّ أنْ يُخَافَ تَغَيُّرُهُ، وَإنْ أُهِيْلَ عَلَيْهِ التُّرَابُ لَمْ يُنْبَشْ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ فِي اْلقَبْرِ، وَاْلقَاعِدَةُ الْمَيْسُوْرُ لاَ يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ، وَمَنْ عَجَزَ عَنْ رُكْنٍ أوْ شَرْطٍ أَتَى بِالْمَقْدُوْرِ، وَهَذِهِ أوْلَى بِالْجَوَازِ، إذْ مَقْصُوْدُهَا الدُّعَاءُ وَالشَّفَاعَةُ، وَهَذَا حَقِيْقٌ بِالْإعْتِمَادِ، وَعَلَيْهِ اْلأسْنَوِيُّ وَاْلأذْرُعِيُّ وَإبْنُ أبِيْ شَرِيْفٍ وَغَيْرُهُمْ وَرَجَّحَهُ النَّاشِرِيُّ اهـ حاشية الفتح. (بغية المسترشدين، صــ 197)
Comments

0 komentar:

Posting Komentar