Rabu, 23 Desember 2015

Kesalahan Nadhir Atau Takmir Masjid Yang Banyak Terjadi


Kesalahan Nadhir atau Takmir Masjid Yang Banyak Terjadi


Assalamualikaum Wrb. Hai shohabat bloger semua… gimana punya kabar nih? Masih baik-baik aja kan? Mudah-mudahan Allah selalu melindungi kita ya? Dalam keadaan sehat wal afiat.. Amin ya robbal alamin. J J J Eh ada yang tau gak? Nadhir atau Takmir masjid itu seperti apa? Fungsi-fungsinya bagaimana? Definisi Nadhir atau Takmir masjid itu apa? Masih banyak yang belum tahu kan? Ya kan? Hehe.. Bahkan dari kalangan kita (orang muslim) sangat banyak yang masih belum mengerti apa nadhir atau takmir masjid itu sebenarnya? Bahkan lebih parahnya lagi nih, orang yang menjadi nadhir atau takmir masjid itu sendiri kadang masih belum mengerti apa arti nadhir atau takmir masjid itu sebenarnya? Parah kan? He he.. sungguh terlalu!! Hehe… jadi ingat sama lagunya bang haji roma irama aja. Oke.. sebelum kita ke titik pembahasan, mari kita fahami takrif atau definisi dari nadhir atau takmir masjid itu seprti apa?

       Takmir masjid.
Istilah Takmir masjid sebenarnya tidak di kenal dalam ilmu fiqih. Secara bahasa takmir berarti meramaikan. Takmir masjid berarti meramaikan masjid. Bisa jadi istilah yang popular di Indonesia ini adalah merujuk pada ayat Al-Qur’an yang berbunyi :


اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَجِدَ اللهِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَوةَ وَءَاتَى الزَّكَوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللهَ فَعَسَى اُولَئِكَ اَنْ يَكُوْنُوا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ  (18) 
 
 “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) kecuali kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. Surah At-Taubah ayat 18.  

Apabila dilihat pada fungsi dan tugas-tugas takmir masjid yang terdiri dari beberapa pengurus yang memiliki tugas-tugas dan wewenang sesuai dengan jabatannya. Ketakmiran masjid ini adakalanya tercakup dalam fungsi dan tugas nadhir. 

·           Nadhir Masjid.
Secara umum nadhir masjid itu adalah : Orang yang bertanggung jawab dalam hal-hal yang berkenaan dengan masjid. Kesimpulan secara umum adalah Antara takmir masjid dan nadhri masjid itu sama saja, hanya saja nadhir itu lebih umum daripada takmir. 

Mari kita pada titik pembahasan. (kesalahan yang banyak terjadi pada nadhir atau takmir masjid)
Orang yang akan menjadi nadhir masjid itu harus memenuhi 2 syarat, yaitu : Al-Adalah , Yaitu : orang yang dapat di percaya dan mempunyai prilaku baik. Dan Al-kifayah wal ihtidak ilat tasaharruf, Yaitu : Orang yang memiliki kemampuan dalam mengelola harta waqof. (ini sesuai dengan keterangan dalam kitab hasiah  As-Syirwani 6/288) jadi orang yang tidak memenuhi syarat diatas, maka tidak boleh dijadikan nadhir masjid.
  • Tugas – Tugas Nadhir Masjid.
Secara umum tugas nadhir masjid adalah : bertanggung jawab atas segala hal yang menyangkut pengelolaan, pemanfaatan, perawatan, dan pengembangan harta masjid, jadi nadhir itu harus betul-betul siap dan bijaksana dalam menjalankan tugas yang ia sandang. Semua kebijakan yang diambil oleh nadhir masjid harus selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang kembali kepada masjid. Penggunaan harta masjid harus didasarkan kepada  kepentingan masjid yang bersangkutan. Kerna setiap sesuatu yang berkaitan dengan masjid, tidak boleh digunakan pada kepentingan selain masjid. Baik kepentingan itu bersifat pribadi atau bersifat umum. Secara rinci tugas tersebut (Tugas nadhir masjid) dapat dibagi menjadi 3 bagian.

  1. Mengelola harta masjid
Yang dimaksud dari harta masjid adalah : semua harta yang dimiliki masjid. Kata lain dari harta masjid adalah : aset masjid. Yang mana aset masjid ini terbagi 2 macam. Yaitu : aset masjid yang berupa milik dan aset masjid yang berupa waqof. Aset masjid itu bisa dikategorikan milik, apabila diperoleh dari hasil hibah(pemberian) atau shodaqoh. Contohnya : ada seseorang yang bernama junaidi memberikan karpet pada takmir masjid. Atau menshodaqohkan karpet tersebut dengan mengatakan “karpet ini saya hibahkan(berikan) atau saya shodaqohkan kepada masjid”, dengan si junaidi mengatakan seperti itu, maka secara otomatis benda itu menjadi aset masjid yang berupa milik. Dan aset masjid itu bisa dikategorikan berupa waqof.  Jika diperoleh dari waqofan seseorang. Contohnya : ada seseorang yang mewaqofkan sebidang tanah, dengan mengatakan pada takmir masjid. “tanah ini saya waqofkan untuk masjid” dengan perkataan tersebut, maka otomatis tanah itu menjadi aset masjid yang berupa waqof. Cara merawat aset-aset masjid itu terkadang sama. Baik yang berupa milik atau berupa waqof. 

Asas pengelolaan harta masjid adalah kemaslahatan yang kembali pada masjid. Artinya segala kebijakan yang diambil oleh nadhir, harus selalu mengacu pada kepentingan masjid. Penggunaan harta masjid tidak boleh di dasarkan pada kepentingan pribadi atau lembaga di luar masjid yang bersangkutan. Harta masjid tidak sah di hibahkan, dipinjamkan dan dihutangkan kepada pihak manapun. Karna masjid sebagai lembaga bukan tergolong sebagai Ahliatut tabarru’ (yang dapat berderma dan memberi pinjaman). Pada umumnya pengurus masjid banyak yang kurang memperhatikan tentang pemanfaatan harta masjid. Sering dijumpai harta masjid digunakan bukan semestinya, yaitu baik berupa kepentingan pribadi, baik pribadi pengurus atau orang lain, seperti menggunakan inventaris masjid, pondok atau madrasah untuk acara pernikahan dan lain-lain. Kecuali acara nikahnya berada dalam masjid itu sendiri. Maka tidak ada masalah meminjam inventaris masjid. Karna acara nikah itu hukumnya sunnat di dalam masjid. Artinya, masih ada kemaslahatannya masjid. Jadi. Tidak ada masalah alias tidak apa2 meminjamkan inventaris masjid untuk acara niakah di dalam masjid. Juga tidak boleh meminjamkan atau menghutangkan uang masjid atau pondok atau madrasah pada semua pihak manapun. Praktek ini jelas haram hukumnya dan tergolong ghosab. Meskipun atas seijin ketua atau pengurus lainnya, baik pengurus tersebut memperoleh gaji atau tidak. Sebab pemanfaatan harta masjid, harus sepenuhnya untuk kepentingan masjid (bukan kepentingan yang lain).

Nadhir masjid juga di tuntut untuk sedapat mungkin untuk mengembangkan harta masjid yang berpotensi mendatangkan keuntungan. Bahkan jika dimungkinkan, harta masjid yang tidak sedang dibutuhkan  untuk keperluan masjid, dapat diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan. Dalam usaha mengembangkan harta masjid, nadhir dituntut untuk berlaku berhati-hati, sebelum memutuskan. Resiko kerugian harus secara cermat diperhitungkan.(ini sesuai dengan keterangan kitab hasyiah Al-qulyubi 2/305)  

2.  Menyalurkan harta masjid secara proporsional.

Harta yang dimiliki masjid, harus disalurkan sesuai dengan keperuntukannya. Penggunaan harta masjid secara umum terbagi menjadi 2 macam. Yaitu :
      1. Imaroh. Yaitu: segala kebutuhan masjid yang berkaitan dengan fisik masjid. Seperti pembangunan fisik, pagar, cat dan lain-lain. Termasuk dalam kategori ini, keperluan masjid yang berkaitan dengan kebersihan masjid dan peralatannya, seperi sapu dan lain-lain. Juga gaji yang diberikan untuk petugas kebersihan masjid.

      2.    Masholaeh, yaitu : segala kebutuhan yang berkaitan dengan kepentingan masjid, baik untuk keperluan fisik masjid sebagaimana dalam bagian pertama atau keperluan – keperluan lainnya, seperi karpet, penerangan masjid, pengeras suara, bahkan makanan yang disajikan untuk jamaah, jika diperlukan untuk meramaikan masjid, dan lain-lain. Bagian ini sifatnya lebih umum dibandingkan daripada bagian pertama.

Aset masjid yang berupa waqof. Harus disesuaikan dengan peruntukan waqof tersebut. Jika didapat dari hasil waqof untuk pembangunan masjid (imaroh), maka hasil waqof tersebut hanya dapat dipergunakan untuk pembangunan masjid, dan jika didapat dari hasil waqof untuk kebutuhan masjid(masholeh) atau tidak ada penjelasan secara rinci dari waqif(orang yang mewaqofkan),maka hasil waqof dapat dipergunakan untuk semua kepentingan masjid. Demikian pula aset masjid yang berupa milik(hasil hibah atau shodaqoh), jika penyumbang menyatakan pemberian tersebut hanya untuk pembangunan misalnya, maka sumbangan tersebut hanya dapat dipergunakan untuk hal yang berkaitan dengan pembangunan masjid. Dan apabila tidak dinyatakan, maka dapat dipergunakan untuk semua kepentingan masjid.

Hukum membuat hiasan atau aksesoris masjid. Menjadi perdebatan para ulama’. Ada yang memperbolehkan, asal tidak menggunakan uang masjid dan adapula yang mengharamkan. Sebagian yang lain menyatakan makruh, jika dapat mengganggu konsentrasi orang yang sholat. Menurut sebagian ulama’ madhab syafi’i. jika dimaksudkan untuk memperindah masjid sehingga nampak megah dan agung. Maka hukumnya adalah boleh, bahkan tergolong kabaikan.

        3. Menjaga dan merawat masjid.   

Salah satu tugas utama nadhir adalah menjaga dan merawat masjid agar tetap terawat sehingga terasa nyaman bagi pngunjung. Disamping merawat kondisi masjid, nadhir juga harus mengawasi penggunaan fungsi masjid dan segala aktifitas yang dimilikinya. Masjid dan fasilitas yang dimiliki tetap harus terjaga dari penggunaan yang bukan semestinya. Bagian fisik masjid tidak boleh dirubah atau dibongkar tanpa ada sebab yang menuntutnya. Menurut pendapat ulama’ madhab syafi’I, pembongkaran pembangunan masjid hanya boleh karna alasan yang mendesak. Seperti perluasan masjid, karna sudah tidak menampung para jamaah, arah qiblat masjid tidak tepat, sehingga harus dibongkar dan di luruskan tepat ke arah qiblat. Atau rapuhnya bangunan yang harus di renovasi. Rnovasi masjid tidak boleh dilakukan hanya karna alasan mengikuti model. Apabila dilakukan renovasi atau perluasan masjid karena perluasan atau banguna yang sudah rapuh, maka sisa bongkaran masjid harus disimpan jika masih dibutuhkan, untuk dipergunakan kembali. Dan jika tidak dibutuhkan lagi atau tidak memungkinkan untuk disimpan, maka boleh dijual, hasil dari penjualan sedapat mungkin dipergunakan untuk membeli barang sejenis.  Menurut syeikh muhammad bin abdurrohman Al-Ahdal, hasil dari penjualan dipergunakan untuk semua kemaslahatannya masjid. 

Inventaris aset masjid yang berupa milik, seperti karpet,speaker dan lain-lain yang dibeli dengan uang milik masjid hukumnya dapat dijual apabila diperlukan. Sedangkan yang di dapat dari waqof. (aset masjid berupa waqof) maka tidak boleh dijual. Penerangan masjid adalah satu fasilitas penting yang dimiliki masjid. Bahkan sunnah hukumnya menyediakan fasilitas lampu dan alas lantai di dalam masjid. Nadhir berkewajiban untuk memperhatikan penggunaan lampu penerangan masjid. Artinya penggunaan lampu harus disesuaikan dengan kebutuhan. Penggunaan lampu secara berlebihan hukumnya adalah Haram, karna pemborosan kas masjid. Pada malam hari ketika jamaah sudah tidak ada, seluruh penerangan masjid harus dimatikan, kecuali beberapa lampu kecil untuk penerangan bangunan masjid agar tetap terlihat megah.(ini sesuai dengan keterangan kitab Fatawa Al-kubro) 

Untuk menjaga keamanan masjid dan barang-barang yang dimiliki masjid, nadhir dibenarkan menutup pintu masjid sebagai langkah antisipasi. Masjid sebagai tempat beribadah harus terjaga kesuciannya, benda najis tidak boleh ada yang masuk kedalam masjid. Jika terlihat najis di dalam masjid, maka harus segera disucikan, adapun membawa sandal kedalam masjid, sebagaimana yang umum terjadi, hukumnya diperbolehkan apabila terjaga dari najis. Dengan cara dibungkus atau dibersihkan terlebih dahulu. Menurut para ulama’ mengajar anak – anak kecil di masjid hukumnya adalah di perbolehkan, dengan syarat harus menjaga mereka dari ramai-ramai, bermain dan mengotori masjid. Demikian juga makanan – makanan atau membagi makanan di dalam masjid. Pada dasarnya adalah diperbolehkan, kecuali apabila mengakibatkan kotornya masjid. 

Seyikh muhammad bin abdurrohman mengatakan : dan telah berlaku kebiasaan disebagian daerah, melaksanakan seperti hataman qur’an di dalam masjid, dan membagi-bagikan kopi manisan dan sesamanya. Juga terdapat anak - anak kecil, sehingga menyebabkan kotornya masjid. Yang demikian ini hukumnya adalah haram. Meskipun bershodaqoh sendiri adalah bagian dari ibadah. Akan tetapi apabila bersamaan dengan hal yang diharamkan maka dapat menjadi haram hukumnya. Dan jika mau menyelenggarakan acara tersebut, serta membagi-bagi shodaqoh, maka harus terjaga dari hal-hal yang diharamkan dalam masjid. Yakni mengotori masjid, tidak menghormati masjid dan anak kecil beramai-ramai di masjid. Lalu beliau berkata : sekiranya pembagian kopi atau manisan dan sesamanya dapat mengundang kehadiran anak anak kecil. Sehingga merusak kehormatan masjid, maka orang yang melaksanakan acara ini berdosa, karna perbuatan yang menyebabkan kemaksiatan tergolong perbuatan yang maksiat. Dan wajib bagi yang mampu untuk menjcegahnya, untuk mencegah. Apabila dengan kehadirannya menybabkan hilang kemungkaran ini, maka harus mendatanginya atau melarangnya, dan jika ia tidak mampu mencegahnya, maka haram untuk mendatanginya. Selanjutnya beliau berkata : dan berdosa para orang tua yang membiarkan anaknya merusak kehormatan masjid dengan bermain, ramai-ramai seperti umumnya anak-anak zaman sekarang.(ini sesuai dengan keterangan kitab Umadatu Al-mufti wa al-mustafti)

    Kesimpulannya, kita sebagai nadhir, harus betul-betul menjaga dan menjalankan aset masjid dengan secara hati-hati. (jangan dibuat sembarangan)  oke... :-) hanya itu dari saya, mudah mudahan bisa bermanfaan bagi kita semua. terutama yang menjadi nadhir atau takmir masjid. :-) 
       Wassalamualaikum WrWb. 

       Keterangan ini saya ambil ketika kursus waqof masjid madrasah dan pondok pesantren. yang dikursus oleh Ustd. Gus Muhib Pasuruan. Mudah-Mudahan Kita Mendapat Barokahnya beliau. Amin.... Ya Robbal Alamin. 

       12 Robiul Awal 1437 H.


Sabtu, 03 Oktober 2015

Shigot-Shigot Nikah Yang Harus Anda Ketahui.

        

 Shigot Nikah (Ungkapan Serah Terima)
Sebagaimana lazimnya ibadah yang lain, nikah juga memerlukan syarat dan rukun. keduanya merupakan suatu yang sangan krusial. sebab tanpa adanya syarat dan rukun, sebuah ritual ibadah belum bisa dikatakan sah, menurut kacamata agama.
           Diantara rukun nikah tersebut adalah : 1. Shighot (Ungkapan serah terima) 2. Kedua mempelai, 3. Wali 4. Dua orang saksi.
  Sekarang yang kita bahas adalah rukun yang pertama yaitu Shighot (ungkapan serah terima). 
  • Sighot 
Sighot merupakan ungkapan serah terima yang mencakup ijab (pemasrahan) dari wali atau wakilnya, dan qobul (penerimaan) dari mempelai pria atau wakilnya. Berikut adalah contoh ijab dan qobul, yang sesuai dengan tuntutan agama,
ijab dari wali kepada calon suami: 
يا فلان بن فلان ازوجك على ما امر الله به من امساك بمعروف اوتسريح باحسان. يا فلان انكحتك وزوجتك مخطوبتك بنتى......بمهر ......حالا
"Hai fulan bin fulan, aku akan menikahkan atas apa yang Allah perintah berupa menjaga dengan baik atau menceraikan dengan bijaksana. hai fulan, aku nikahkan kamu dengan tunanganmu anakku.....dengan mas kawin......tunai."
 Ijab dari wakil wali :
يا فلان بن فلان ازوجك على ما امر الله به من امساك بمعروف اوتسريح باحسان. يا فلان انكحتك وزوجتك مخطوبتك....بنت ....مولية ابيها/اخيها مُوَكِّلِى بِمَهْرِ....حالا
"Hai fulan bin fulan, aku akan menikahkan atas apa yang Allah perintah berupa menjaga dengan baik atau menceraikan dengan bijaksana. hai fulan, aku nikahkan kamu dengan tunanganmu.........Putri.......yang menjadi tanggung jawab ayahnya /saudaranya orang yang mewakilkan padaku, dengan mas kawin....., tunai.
Bentuk ijab wali kepada wakil calon suami :
انكحت وزوجت فلان بن فلان مُوَكِّلَكَ مخطوبتَه بنتى....بمهر....حالا
"aku nikahkan fulan bin fulan yang mewakilkan padamu tunangannya anakku......dengan mas kawin.....tunai."
Qobul Dari calon suami :
قبلت نكاحها وتزويجها بالمهر المذكور ورضيتُ به.
"Aku terima nikahnya........dengan mas kawin yang telah disebutkan dan aku rela dengannya."
Qobul Wakil dari mempelai pria :
قبلت نكاحها وتزويجها بالمهر المذكور
"Aku terima nikahnya (si perempuan) untuknya (calon suami) dengan mas kawin yang telah disebutkan. "
Dalam akad nikah boleh mendahulukan qobul dan mengakhirkan ijab, seperti calon suami mengatakan kata "qobiltu nikaha fulanah" saya terima nikahnya. sebelum wali dari perempuan mengucapkan kata " ankahtuka wazawwajtuka binti" Aku nikahkan putriku, 
        Dalam ijab dan qobul, yang merupakan rukun pertama dari nikah, juga harus memperhatikan hal-hal yang terkait dengannya seperti syarat-syarat yang menjadikan sahnya ijab dan qobul tersebut Meliputi :
  1.  Berupa akar kata yang diambil dari kata dasar (masdar) tazwij dan inkah, atau terjemahan dari keduanya, sebab yang ada dalam alqur'an hanya dua kata tersebut, oleh karenanya, disyaratkan harus menggunakan kata dasar tersebut, Maka proses ijab dan qobul belum bisa dianggap sah ketika menggunakan lafad lain, semisal : lafad tamlik (memberikan kepemilikan), Hibah (memberi), Ihlal (menghalalkan) dan ibahah (memperbolehkan). Hal ini berdasaran hadist nabi muhammad SAW. Sebagai berikut : إتقوا الله فى النساء فانكم اخذتموهن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله  yang Artinya "Takutlah kamu sekalian kepada Allah!! dalam masalah perempuan, sebab kamu telah mengambilnya dengan amanat Allah dan mengharap kehalalan farjinya. dengan kalimat Allah. (HR. Muslim). Memang secara ekplisit, Hadist diatas tidak mengindikasikan bahwa ijab dan qobul, harus menggunakan lafad tazwij dan inkah, namun kalau memperhatikan lebih lanjut, secara implisit hadist ini menunjukkan keharusan menggunakan lafad tersebut, Demikian itu, karna nikah termasuk kategori ritual yang bersifat ibadah, sedangkan hal-hal yang terkandung dalam suatu ibadah, Semisal dhikir Dll. merupakan tuntunan dari syariat. dan sayariat sendiri dalam berbicara masalah nikah menggunakan lafad tazwij dan inkah. maka dari itu muncul sebuah rumusan hukum mengenai keharusan menggunakan lafad tazwij dan inkah. dalam sebuah peroses ijab dan qobul. 
  2. Shighot Nikah Harus Menggunakan bentuk kata yang positif dan mantap (jazm), tidak boleh menggunakan kata kerja (fi'il) yang menunujukkan arti "akan" Atau "sedang" 
  3. Antara ungkapan ijab dan qobul tidak ada sesuatu yang oleh adat dianggap sebagai pemisah, seperti dipisah dengan kalimat lain yang panjang, bedahalnya jika pemisah antara ijab dan qobul itu berupa bernafas atau ada udhur seperti batuk dan sesamanya. 
  4. Tidak membatasi nikah dengan masa-masa tertentu atau dikaitkan dengan sesuatu. Seperti : "Kunikahkan kamu dengan putriku selama satu tahun"

Kamis, 01 Oktober 2015

Pernak Pernik Hukum Nikah

Nikah

Halo... Selamat datang sahabat blogger semua..  Mudah mudahan kita selalu sehat wal afiat selalu ya?? Amin.... ya robbal alamin.
Ngomong-ngomong masalah nikah nih,, kayaknya sudah sangat lumrah dikalangan kita semua..Kata kata nikah ini sudah tidak asing lagi di telinga kita, Tapi ironisnya, Sangat banyak di kalangan kita yang sangat tidak faham, apa arti nikah itu sebenarnya,,??

Kadang ada yang bertanya, apa sih arti nikah itu sebenarnya??? Mau tau ngak?? hehe... Penasaran ya?? Mari kita simak artikel di bawah ini!!  Selamat membaca!!

Sekilas Definisi Tentang Nikah

Nikah menurut arti bahsa adalah : Kumpul dan watik. sedangkan menurut arti syara' nya mempunyai pengertian akad yang mengandung memperbolehkan jimak dengan menggunakan lafad inkah atau tazwij atau lafad yang dicetak dari keduanya. diantara dalilnya nikah adalah ayat : فانكحوا ما طاب لكم من النساء  Dan juga hadist nabi : تناكحوا تكثروا


  • Hukum Pernikahan :    
    Menurut Para pakar fiqih pada dasarnya agama islam tidak mewajibkan pernikahan. Hukum asalnya nikah adalah mubah (boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan) Pernikahan akan bernilai ibadah apabila diniati ibadah. dari sinilah orang yang hendak menikah harus menata niatnya dengan baik, semisal : menikah untuk memperbanyak keturunan, takut melakukan dosa, dan untuk mengikuti jejak langkah nabi (ittiba'). semakin banyak ia berniat baik, maka semakin banyak pula nilai ibadah yang akan ia peroleh, selanjutnya, hukum pernikahan berfariasi sesuai situasi dan kondisi masing - masing orang yang hendak menikah. berikut perinciannya : 

Wajib : 
Ada beberapa orang yang wajib menikah : 
Pertama, : Orang yang bernadhar untuk menikah dan ia termasuk orang yang sunnah menikah, ketentuan ini menurut penadapat Ibnu hajar al-haitami. Sementara menurut imam Ar-Romli. Menikah tidak menjadi hukum wajib sebab nadhar. 
Kedua,  : Orang yang baginya pernikahan menjadi jalan satu satunya Untuk menyelamatkan diri dari perbuatan zina. baik secara yakin atau praduga kuat, 

Sunnah  :
Pernikahan sunnah dilakukan bagi orang yang memiliki hasrat menikah dan mempunyai biaya untuk melaksanakannya. (mas kawin dan nafkah di hari ketika istri menyerahkan dirinya(tamkin)) Hal ini berdasarkan sabda nabi muhammad SAW : 
يا معشر الشباب من استطع منكم الباءة فليتزوج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء 
"wahai para pemuda, barang siapa telah mampu diantara kalian, hendaklah melaksanakan pernikahan, agar ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluannya. barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya. hendaklah ia berpuasa! karna puasa menjadi benteng perlindungan." (HR Al- Bukhori Muslim, abu daud dan At-tirmidhi) 
         Bagi tipe orang seperti ini, Menikah tetap lebih utama dari pada ber-tabattul. (menyita seluruh waktu untuk beribadah, tanpa berkeluarga). sebab nabi bersabda sebagaiman dalam hadist riwayat anas bin malik, melarang keras praktek tabattul tersebut. (HR. Ahmad) nabi juga menegor sahabat ustman bin ma'dzun. yang menyita seluruh waktunya untuk beribadah sampai-sampai tidak kawin. (HR. Al-Bukhori) 

Makruh :
Berikut adalah orang-orang yang makruh melangsungkan pernikahan. 
Pertama : Orang yang tidak memiliki hasrat menikah sekaligus tidak mempunyai biaya untuk melaksanakannya. Sebab disamping tidak memiliki biaya pernikahan, orang tersebut,tidak membutuhkan seorang istri sebagai perisai dari virus nafsu, yang selalu menyerang setiap waktu, Bahkan orang seperti ini dianjurkan untuk memperbanyak berbuat ibadah, 
Kedua : Orang yang impoten, lumpuh dan tidak punya penis. (dikebiri)
Ketiga : Orang yang memiliki hasrat untuk menikah, namun, tidak memiliki biaya pernikahan, Orang yang bertipe seperti ini, dianjurkan untuk berpuasa, untuk meredam dahsyatnya virus nafsu birahinya, Berdasarkan sabda nabi : 
ومن لم يستطع فعليه بالصوم فانه له وجاء
"barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya. hendaklah ia berpuasa! karna puasa menjadi benteng perlindungan." 
Nabi memberi solusi untuk meredam nafsu dengan berpuasa, tapi yang perlu di ingat! puasa yang dapat meredam nafsu adalah : puasa yang dilakukan secara terus menerus, karna puasa yang dilakukan sehari saja, bukan meredam, tapi malah meningkatkan nafsu, Adapun, meredam nafsu dengan menggunakan pil,hukumnya di tafsil : Haram, apabila sampai syahwat sexnya hilang, hingga menyebabkan tidak memiliki keturunan, Tidak apa-apa. Jika meredam nafsu sementara. 

Khilaful Aula : 
Menuerut Ulamak mayoritas syafiiyah, tidak berkeluarga lebih utama, bagi orang yang memiliki biaya pernikahan, tapi tidak memiliki syahwat, Orang seperti ini, lebih dianjurkan, Bertabattul. Namun menurut minoritas, ulamak syafiiyyah dan malikiyah, orang tipe seperti ini, tetap lebih baik berkeluarga dari pada melakukan tabattul. 

Haram :
Menikah hukumnya haram, bagi orang yang tidak mau dan tidak bisa memenuhi hak dan kewajiban yang menjadi ketetapan dalam rumah tangga. 

Keterangan ini saya ambil dari kursus munakah. 

Mudah-mudahan artikel ini, sangat bermanfaat bagi yang menulis artikel dan bagi yang membacanya. 

Rabu, 17 Juni 2015

Kebanyakan Orang Salah Kaprah Tentang "Waqof"

Waqof Adalah : melepas kepemilikan harta ( إزالة مال ) yang dapat bermanfaat, dengan tanpa mengurangi bendanya, untuk diserahkan pada perorangan atau kelompok, agar dimanfaatkan untuk tujuan - tujuan yang tidak bertentangan dengan syariat islam. Dalilnya Waqof itu adalah : Firmannya Allah Taala "لن تنال البر حتى تنفقوا مما تحبون" dan hadist nabi muhammad          
 إذامات ابن ادم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له



 Rukunnya Waqof itu Ada 4 macam Yaitu : 
1. Orang yang mewaqofkan.
2. Barang yang diwaqofkan
3. Objek Yang diwaqofkan
4. Sighot (Ucapan waqof)
kalau tidak ada salah satu dari rukun yang empat diatas maka tidak bisa dikatakan waqof.

      Sekarang kita perinci satu persatu, yang dimaksud إزالة مال  adalah : "Melepas kepemilikan", kemudian barang yang dilepaskan kepemilikannya tadi tidak ada yang memiliki. Selain kata - kata ini, Dalam ilmu fiqih juga ada yang namanya istilah نقل الملك (memindah kepemilikan) Contohnya : Hibah. Kalau dalam Kitab Tnawirul Qulub Dalam Mena'rifi Waqof  itu tidak menggunakan lafad نقل الملك atau ازالة مال Tapi menggunakan lafad حبس مال (tertahannya harta). Contohnya : Ada seseorang yang bernama Koyyum mengatakan pada Temannya yang bernama junaidi. "Tanah ini saya waqofkan pada kamu" Dengan Koyyum mengatakan seperti itu pada si junaidi, berarti kepemilikannya koyyum pada tanah itu sudah terlepas,dan juga bagi junaidi tidak memiliki tanah itu, hanya saja bagi junaidi berhak memanfaatkannya saja, jadi bagi junaidi tidak boleh menjualnya, karna bukan miliknya. Jadi tanah itu tidak ada yang memiliki. Melainkan tanah itu milkullah (miliknya Allah). Maka statusnya bumi itu adalah : حبس مال  (tertahannya harta)

      Diantaranya rukunnya Waqof adalah : Sighot. Jadi Kalau gak ada sighot, maka tidak bisa dikatakan waqof. dan shighot itu harus diucapkan dengan secara lisan, tidak cukup dengan niat saja. sedangkan waqof dalam bentuk tulisan bisa dianggap sah. jika disertai dengan niat saat menulis, Jadi shighot itu harus ada, kalau tidak, maka tidak dikatakan waqof, kecuali dalam contoh ini : Para Masyarakat bermusyawaroh untuk membangun sebuah masjid di suatu tempa, kemudia para masyarakat setuju semua sedangkan biayanya diperkirakan 3 miliar, dan ternyata uangnya masih terkumpul 1 miliyar. kemudian para masyarakat Bondo nekat. terus bangun masjid. jika nanti uangnya kurang, nanti para masyarakat itu akan narik amal. kemudian lama kelamaan Akhirnya Masjidpun terbangun dengan rapi. Dalam contoh ini, tetap dikatakan waqof, meskipun tidak ada shighot, karna contoh ini termasuk pengecualian. Ini sesuai dengan pendapat Imam Syeikh Abu Hamid, ada yang mengatakan abu muhammad.

Selasa, 21 April 2015

Menjual Tembakau dengan Sistem Tebasan

Menjual Tembakau dengan Sistem Tebasan

a.      Deskripsi Masalah
Dalam penjualan bibit tembakau biasanya menggunakan sistem penjualan sebagai berikut: penjual menjual bibit temabakaunya perseribu bibit dengan cara penghitungan yang cukup menggunakan perkiraan, kemudian bibit itu dibungkus dengan daun hingga menjadi sepuluh bungkus, misalnya.
b.      Pertanyaan:
Bagaimana hukum transaksi dengan menggunakan sistem tersebut? Dan bagaimana hukumnya jika penjual dengan sistem semacam itu sudah menjadi kebiasan dan disetujui oleh masyarakat?
c.      Jawaban:
Jual beli dengan model yang sudah disebutkan hukumnya sah apabila penjualannya tidak memperkirakan seribu bibit dan barangnya diperlihatkan kepada pembeli. Akan tetapi, jika penjualan tersebut dilakukan dengan cara memperkirakan seribu biji, maka pembeli boleh menuntut pada penjual apabila bibitnya kurang dari seribu, sebab penjualannya memang dilakukan dengan ukuran seribu bibit.
d.      Rujukan:
( قَوْلُهُ أَوْ قَالَ بِعْتُكهَا بِعَشَرَةِ دَرَاهِمَ كُلَّ صَاعٍ بِدِرْهَمٍ إلَخْ ) صَوَّرَ الْمُصَنِّفُ الْمَسْأَلَةَ بِمَا إذَا قَابَلَ الْجُمْلَةَ بِالْجُمْلَةِ وَالتَّفْصِيلَ بِالتَّفْصِيلِ وَهَذَا التَّصْوِيرُ يُخْرِجُ مَا إذَا وَقَعَ أَحَدُهُمَا عَلَى سَبِيلِ الشَّرْطِ وَلَهُ صُورَتَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يُقَابِلَ الْأَجْزَاءَ بِالْأَجْزَاءِ بَلْ يُقَابِلَ الْجُمْلَةَ بِالْجُمْلَةِ فَيَقُولُ بِعْتُكهَا بِمِائَةٍ عَلَى أَنَّهَا مِائَةُ صَاعٍ فَتَخْرُجُ زَائِدَةً أَوْ نَاقِصَةً فَإِنَّ الْبَيْعَ يَصِحُّ فِي الْأَصَحِّ وَيُخَيَّرُ الْبَائِعُ فِي الزِّيَادَةِ وَالْمُشْتَرِي فِي النُّقْصَانِ كَذَا قَالَهُ الْأَصْلُ فِي بَابِ الْبُيُوعِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا وَجَرَى عَلَيْهِ الْمُصَنِّفُ الثَّانِيَةُ عَكْسُهُ وَهُوَ أَنْ لَا يُقَابِلَ الْجُمْلَةَ بِالْجُمْلَةِ بَلْ يُقَابِلَ الْأَجْزَاءَ بِالْأَجْزَاءِ فَيَقُولَ بِعْتُكهَا كُلَّ صَاعٍ بِدِرْهَمٍ عَلَى أَنَّهَا مِائَةُ صَاعٍ فَهِيَ قَرِيبَةٌ مِنْ الْأُولَى لَكِنْ جَزَمَ الْمَاوَرْدِيُّ بِالصِّحَّةِ عِنْدَ النُّقْصَانِ وَخَرَجَ الزَّائِدُ عَلَى الْقَوْلَيْنِ وَالرَّاجِحُ أَنَّ حُكْمَهَا حُكْمُ الصُّورَةِ الْأُولَى ( قَوْلُهُ لِتُوَافِقَ جُمْلَةَ الثَّمَنِ وَتَفْصِيلَهُ ) هَذَا فِيمَا لَا تَتَفَاوَتُ أَجْزَاؤُهُ كَالصَّاعِ فَلَوْ قَالَ بِعْتُك هَذِهِ الْحُزُمَ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ كُلَّ حُزْمَةٍ بِدِرْهَمٍ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّ بَيْعَهَا بِمِائَةٍ يَقْتَضِي تَوْزِيعَ الْمِائَةِ عَلَى الْحُزُمِ كُلِّهَا بِالْقِيمَةِ وَهِيَ تَتَفَاوَتُ ثُمَّ قَوْلُهُ كُلَّ حُزْمَةٍ بِدِرْهَمٍ يُنَاقِضُ أَوَّلَ الْكَلَامِ حَكَاهُ ابْنُ الصَّلَاحِ عَنْ كِتَابِ الْعِمَادِ الْفِقْهِيِّ. (أسنى المطالب، جـ 7/صـ 450)

( فَرْعٌ بَيْعُ الْمُشَاهَدِ مِنْ غَيْرِ تَقْدِيرٍ كَصُبْرَةِ الطَّعَامِ وَالْبَيْعِ بِهِ ) أَيْ بِالْمُشَاهَدِ مِنْ غَيْرِ تَقْدِيرٍ ( كَصُبْرَةِ الدَّرَاهِمِ صَحِيحٌ ) وَإِنْ لَمْ يُعْرَفْ قَدْرُهَا اكْتِفَاءً بِالْمُشَاهَدَةِ ( فَإِنْ عَلِمَ ) أَحَدُ الْعَاقِدَيْنِ ( أَنَّ تَحْتَهَا دَكَّةٌ ) بِفَتْحِ الدَّالِ ( أَوْ ) مَوْضِعًا ( مُنْخَفِضًا أَوْ اخْتِلَافَ أَجْزَاءِ الظَّرْفِ ) الَّذِي فِيهِ الْعِوَضُ مِنْ نَحْوِ عَسَلٍ وَسَمْنٍ رِقَّةً وَغِلَظًا ( بَطَلَ ) الْعَقْدُ لِمَنْعِهَا تَخْمِينِ الْقَدْرِ فَيَكْثُرُ الْغَرَرُ نَعَمْ إنْ رَأَى ذَلِكَ قَبْلَ وَضْعِ الْعِوَضِ فِيهِ صَحَّ الْبَيْعُ لِحُصُولِ التَّخْمِينِ ( وَإِنْ جَهِلَ ) كُلٌّ مِنْهُمَا ذَلِكَ بِأَنْ ظَنَّ أَنَّ الْمَحَلَّ مُسْتَوٍ فَظَهَرَ خِلَافُهُ ( خُيِّرَ ) مَنْ لَحِقَهُ النَّقْصُ بَيْنَ الْفَسْخِ وَالْإِمْضَاءِ إلْحَاقًا لِمَا ظَهَرَ بِالْعَيْبِ وَالْبَيْعُ صَحِيحٌ ( فَإِنْ بَاعَ الصُّبْرَةَ إلَّا صَاعًا وَصِيعَانُهَا مَعْلُومَةٌ صَحَّ وَإِلَّا فَلَا ) لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { نَهَى عَنْ بَيْعِ الثُّنْيَا } رَوَاهُ مُسْلِمٌ زَادَ التِّرْمِذِيُّ { إلَّا أَنْ تُعْلَمَ } وَقَالَ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَلِأَنَّ الْمَبِيعَ مَا وَرَاءَ الصَّاعِ وَهُوَ مَجْهُولٌ بِخِلَافِ بَيْعِ صَاعٍ مِنْهَا كَمَا مَرَّ لِأَنَّهُ مَعْلُومُ الْقَدْرِ وَالصِّفَةِ وَبِخِلَافِ بَيْعِ جَمِيعِ الصُّبْرَةِ كَمَا مَرَّ أَيْضًا لِأَنَّ الْعِيَانَ مُحِيطٌ بِظَاهِرِ الْمَبِيعِ مِنْ جَمِيعِ جَوَانِبِهِ فَكَانَ أَقْدَرَ عَلَى تَخْمِينِ مِقْدَارِهِ بِخِلَافِهِ فِي مَسْأَلَتِنَا لَا يُمْكِنُ فِيهِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْمَبِيعَ خَالَطَهُ أَعْيَانٌ أُخَرُ وَلَا يَكْفِي مُجَرَّدُ التَّخْمِينِ بَلْ لَا بُدَّ مِنْ إحَاطَةِ الْعِيَانِ بِجَمِيعِ جَوَانِبِ الْمَبِيعِ وَلَمْ يُوجَدْ هُنَا وَلِذَلِكَ لَوْ عَايَنَ جَمِيعَ جَوَانِبِهِ وَلَمْ يُخَمِّنْ كَمْ هُوَ صَحَّ الْبَيْعُ قَطْعًا ذَكَرَ ذَلِكَ ابْنُ الصَّلَاحِ. (أسنى المطالب، جـ 7/صـ 452)

Sumber Dari Hasil Musyawaroh Santri Sidogiri

Hukum Kecurangan Dalam Timbangan


a.      Deskripsi Masalah
Seorang pedagang kacang, biasanya, selalu melakukan pemotongan dalam penimbangan. Misalnya 10 Kg. untuk setiap satu kwintal. Pemotongan semacam ini kadang diketahui oleh si penjual kacang dan terkadang tidak. Sebab hal ini sudah menjadi kebiasaan dalam jaul-beli kacang. Alasannya adalah karena kacang yang dibeli itu masih kotor, basah dan sebagainya.
b.      Pertanyaaan:
1.      Bolehkah pemotong dengan cara tersebut, baik diketahui oleh si penjual atau tidak?
c.      Jawaban:
1.      Tidak boleh kecuali ada kerelaan dari penjual.
d.      Rujukan:
جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ الْآنَ مِنْ طَرْحِ قَدْرٍ مُعْتَادٍ بَعْدَ الْوَزْنِ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَنْوَاعِ كَحَطِّهِمْ لِكُلِّ مِائَةِ رِطْلٍ خَمْسَةً مِنْ السَّمْنِ وَالْجُبْنِ وَهَلْ يَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ الْأَمَانَةِ عِنْدَهُ أَوْ حُكْمَ الْغَصْبِ فِيهِ نَظَرٌ وَالْأَقْرَبُ الثَّانِي وَطَرِيقُ الصِّحَّةِ فِي ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ الْبَائِعُ بِعْتُك الْمِائَةَ وَالْخَمْسَةَ مَثَلًا بِكَذَا ا هـ . (حاشية الجمل، جـ 10/صـ 231)
( قَوْلُهُ : لَا يُعْمَلُ بِهِ ) وَمِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ الْآنَ مِنْ طَرْحِ قَدْرٍ مُعْتَادٍ بَعْدَ الْوَزْنِ ، وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَنْوَاعِ كَحَطِّهِمْ لِكُلِّ مِائَةِ رِطْلٍ خَمْسَةً مَثَلًا مِنْ السَّمْنِ أَوْ الْجُبْنِ ، وَهَلْ يَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ الْأَمَانَةِ عِنْدَهُ أَوْ حُكْمَ الْغَصْبِ ؟ فِيهِ نَظَرٌ ، وَالْأَقْرَبُ الثَّانِي ، وَيَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُمَيِّزَ الزَّائِدَ وَيَتَصَرَّفَ فِيمَا عَدَاهُ أَخْذًا مِمَّا قَالُوهُ فِي بَابِ الْغَصْبِ مِنْ أَنَّهُ لَوْ اخْتَلَطَ مَالُهُ بِمَالِ غَيْرِهِ وَجَبَ عَلَيْهِ فِعْلُ ذَلِكَ ، وَطَرِيقُ الصِّحَّةِ فِي ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ الْبَائِعُ بِعْتُك الْمِائَةَ وَالْخَمْسَةَ مَثَلًا بِكَذَا ( قَوْلُهُ : فَالْأَوَّلُ ) هُوَ قَوْلُهُ : بِوَصْفِهِ وَالثَّانِي هُوَ قَوْلُهُ : وَبِمَا هُوَ مُشَاهَدٌ ( قَوْلُهُ : وَإِنْ جَهِلَا قَدْرَهُ ) أَيْ أَوْ جِنْسَهُ أَوْ صِفَتَهُ ، لَعَلَّ اقْتِصَارَ الشَّارِحِ كَالْمَحَلِّيِّ عَلَى الْقَدْرِ أَنَّ مَنْ رَأَى شَيْئًا عَرَفَ جِنْسَهُ وَصِفَتَهُ ، وَعِبَارَةُ سم عَلَى مَنْهَجٍ : وَقَوْلُهُ : كَفَتْ مُعَايَنَتُهُ يَدْخُلُ فِيهِ مَعْرِفَةُ صِفَتِهِ مِنْ الْجِنْسِ وَغَيْرِهِ ، فَلَوْ عَايَنَهُ وَشَكَّ أَشَعِيرٌ هُوَ أَوْ أُرْزٌ مَثَلًا هَلْ يَصِحُّ وَلَعَلَّ الْوَجْهَ الصِّحَّةُ كَمَا لَوْ اشْتَرَى زُجَاجَةً ظَنَّهَا جَوْهَرَةً ا هـ .. (حاشية الشبراملسي نهاية المحتاج، جـ 8/صـ 32)

( قَوْلُهُ : ثُمَّ إنْ تَوَافَقَا ) أَيْ الْمُتَبَايِعَانِ بِأَنْ سَمَحَ رَبُّ الزَّائِدَةِ بِهِ أَوْ رَضِيَ رَبُّ النَّاقِصَةِ بِأَخْذِ قَدْرِهَا مِنْ الْأُخْرَى ، وَعِبَارَةُ الشَّارِحِ فِي بَابِ الرِّبَا وَلَوْ بَاعَ صُبْرَةَ بُرٍّ بِصُبْرَةِ شَعِيرٍ جُزَافًا جَازَ لِانْتِفَاءِ اشْتِرَاطِ الْمُمَاثَلَةِ ، فَإِنْ بَاعَهَا بِهَا مُكَايَلَةً وَخَرَجَتَا سَوَاءً صَحَّ ، وَإِنْ تَفَاضَلَتَا وَسَمَحَ رَبُّ الزَّائِدِ بِإِعْطَائِهِ أَوْ رَضِيَ رَبُّ النَّاقِصِ بِقَدْرِهِ مِنْ الزَّائِدِ أُقِرَّ الْبَيْعُ ، وَإِنْ تَشَاحَّا فُسِخَ ( قَوْلُهُ : لِأَنَّ الثَّمَنَ هُنَا ) أَيْ فِي كَلَامِ الْمُصَنِّفِ ( قَوْلُهُ : بِخِلَافِهِ ثُمَّ ) أَيْ فَإِنَّ الثَّمَنَ لَمْ تُعَيَّنْ كَمِيَّتُهُ بَلْ قُوبِلَتْ إحْدَى الصُّبْرَتَيْنِ مُجْمَلَةً بِالْأُخْرَى فَأَشْبَهَ مَا لَوْ قَالَ بِعْتُك هَذِهِ الصُّبْرَةَ بِشَرْطِ تَسَاوِيهِمَا فَكَانَ كَمَا لَوْ قَالَ بِعْتُك هَذَا الْعَبْدَ بِشَرْطِ كَوْنِهِ كَاتِبًا فَلَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَإِنَّ الْبَيْعَ صَحِيحٌ ، وَيَثْبُتُ الْخِيَارُ إذَا أَخْلَفَ الشَّرْطَ . (حاشية الشبراملسي نهاية المحتاج، جـ 8/صـ 31)

Sumber Dari Hasil Mustyawaroh Santri Sidogiri

JUAL BELI PULSA, TERMASUK AKAD JUAL BELI??

     a. Deskripsi Masalah
Perkembangan tehnologi yang kian pesat problematika dalam muamalah yang diketahui orang. Seperti proses transaksi pulsa, antara produsen, yang dalam hal ini adalah operator pusat dengan distributor (counter), ataupun transaksi antara konsumen (pelanggan) dengan pihak counter yang sama-sama dilakukan oleh mesin yang super canggih, membuat kita tidak tahu akan keabsahan transaksi tersebut. Di samping itu tak jarang dari pihak counter yang mentransfer pulsa ke nomor yang salah yang tak sedikit penerimanya menganggapnya sebagai rezeki yang tak terduga.
b.      Pertanyaan:
Akad apakah antara pihak operator pusat dengan pihak counter?
c.       Jawaban:
Diperinci:
a.       Untuk pulsa voucher sah dan dihukumi bai’.
b.      Untuk pulsa elektrik maka bisa diakad hadiah 'ala an yaqdhiya lahu hâjah.
d.      Rujukan:
الشَرْطُ ( الثَّانِي ) مِنْ شُرُوْطِ الْمَبِيْعِ ( النَّفْعُ ) أَيِ اْلِانْتِفَاعُ بِهِ شَرْعًا وَلَوْ فِي الْمَآلِ كَالْجَحْشِ الصَّغِيْرِ ( فَلاَ يَصِحُّ بَيْعُ ) مَا لَا نَفْعَ فِيْهِ لِأَنَّهُ لَا يُعَدُّ مَالًا ، فَأَخْذُ الْمَالَ فِي مُقَابَلَتِهِ مُمْتَنِعٌ لِلنَّهْيِ عَنْ إِضَاعَةِ الْمَالِ ، وَعَدَمُ مَنْفَعَتِهِ إِمَّا لِخِسَّتِهِ ك ( الْحَشَرَاتِ ) الَّتِي لَا نَفْعَ فِيْهَا جَمْعُ حَشَرَةٍ بِفَتْحِ الشِّيْنِ ، وََهِيَ صِغَارُ دَوَابِ اْلَأرْضِ كَالْخنفساءِ وَالْحَيَّةُ وَاْلعَقَْرَبُ وَالْفَأْرَةُ وَالنَّمْلُ ، وَلاَ عِبْرَةَ بِمَا يَذْكُرُ مِنْ مَنَافِعِهَا فِي الْخَوَاصِ ( وَ ) لَا بَيْعُ ( كُلِّ سَبُعٍ ) أَوْ طَيْرٍ ( لَا يَنْفَعُ ) كَالْأَسَدِ وَالذِّئْبِ وَالحَْدأةِ وَالْغُرَابِ غَيْرِ الْمَأْكُوْلِ )مُغْنِي الْمُحْتَاجِ إِلَى مَعْرِفَةِ أَلْفَاظِ الْمِنْهَاجِ، جـ 6/ صـ 259)


وَلَوْ أَهْدَى لَهُ شَيْئًا عَلَى أَنْ يَقْضِىَ لَهُ حَاجَةٌ فَلَمْ يَفْعَلْ لَزِمَهُ رَدُّهُ اِنْ بَقِىَ وَاِلَّا فَبَدَلُهُ كَمَا قَالَهٌ الْاِصْطَخْرِى، فَإِنْ كَانَ فَعَلَهَا حَلَّ، أَيْ وَإِنْ تَعَيَّنَ عَلَيْهِ تَخْلِيْصُهُ بِنَاءً عَلَى الْاَصَحِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ أَخْذُ الْعِوَضِ عَلَى الْوَاجِبِ إِذَا كَانَ فِيْهِ كُلْفَةٌ، خِلَافًا لِمَا يُوْهَمُهُ كَلَامُ اْلَاذْرُعِى وَغَيْرِهِ هُنَا )المَجْمُْوُعُ، جـ 15/ صـ 388)

Sumber Hasil Musyawaroh Santri Sidogiri